Selasa, 22 Juli 2008

Kamis, 29 Mei 2008

BUKAN URUSAN PEMERINTAH

Suatu saat, seorang pejabat kesejahteraan rakyat Republik Dongeng bertemu dengan pejabat kesejahteraan rakyat Belanda. Keduanya lalu ngobrol tentang pekerjaan mereka masing-masing dan apa yang telah mereka lakukan untuk rakyatnya.
“Di negeriku, upah buruh 400 gulden,” kata pejabat Belanda. “Biaya hidup mereka setiap bulan 200 gulden.”
“Lalu, apa yang mereka lakukan dengan sisa yang 200 gulden?” tanya pejabat Republik Dongeng.
“Itu bukan urusan pemerintah,” jawab pejabat Belanda dengan tenang.
“Di negeriku, upah buruh 1 juta rupinah (di Republik Dongeng satuan uangnya namanya rupinah),” kata pejabat Republik Dongeng bangga. “Biaya hidup mereka setiap bulan 2 juta.”
“Lalu, darimana mereka mencari kekurangan 1 juta untuk memenuhi kebutuhan hidup?” tanya pejabat Belanda heran.
“Itu bukan urusan pemerintah,” jawab pejabat Indonesia, juga dengan tenang. (***)

CARI YANG SEPI



PADA suatu sore, Badrun jalan-jalan di pinggir kota, mencari hawa yang masih sedikit sejuk. Tiba-tiba ia melihat orang yang dikenalnya sebagai seorang anggota DPRD Republik Dongeng sedang berjalan berputar-putar di sebuah tanah kosong di dekat perumahan. Badrun meperhatikan tingkah laku orang itu dengan heran. Untuk apa tokoh politik itu jalan berputar-putar sambil menunduk, seolah-olah sedang mencari sesuatu? Keheranan itu membuat Badrun mendekatinya.
“Selamat sore Pak…” sapa Badrun dengan hormat, sebab ia tahu Bapak Dewan adalah wakil rakyat yang terhormat.
“Selamat sore…” jawabnya sambil terus berjalan berputar-putar sambil menunduk.
“Kok kelihatannya sibuk, sedang mencari sesuatu ya Pak?” tanya Badrun lagi.
“Benar Dik, saya sedang mencari map saya yang tadi jatuh dan hilang,” jawab anggota DPRD itu.
“Map jatuh Pak?” Badrun mulai mengerti. “Isinya surat-surat penting ya Pak?”
“Benar Dik…isinya surat-surat penting,” jawab Bapak Dewan itu. “Malah ada surat perintah pengambilan tunjangan komunikasi, tunjangan keluarga dan biaya perbaikan rumah dan sebagainya. Kalau sampai tidak ketemu…wah…rugi saya!”
“Boleh saya bantu mencarikan Pak?”
“Boleh…boleh….mapnya warna kuning, ada capnya DPRD, gitu…”
Maka, Badrun pun ikut mencari. Karena tempat itu merupakan tanah kosong dan hanya ada beberapa pohon, maka dalam waktu tak begitu lama Badrun sudah selesai mencari dan tidak menemukan apa-apa.
“Kok tidak ada map kuning di sini ya Pak?” tanya Badrun.
“Iya ya…padahal mapnya cukup besar,” jawab Bapak Dewan. “Wah, kalau sampai hilang dan tidak ketemu, saya rugi besar. Tunjangan saya untuk bulan ini bisa hilang semua, istri saya bakal marah-marah karena tidak jadi beli mobil. Padahal dia sudah pamer kemana-mana, ngomong sama teman-teman, saudara dan tetangga kalau besuk mau beli mobil baru…”
Badrun pun ikut bingung dan kasihan kepada wakilnya itu. Kalau map kuning milik Bapak Dewan memang jatuh di tempat itu, pasti bisa segera ditemukan sebab di tanah kosong yang tidak ditumhuhi semak belukar. Atau mungkin sudah ditemukan dan diambil orang lewat?
“Jangan-jangan sudah ditemukan orang, Pak?” Badrun menyampikan pemikirannya.
“Tidak mungkin Dik, sebab di sini hampir tak pernah ada orang lewat …” jawab Bapak Dewan bersemangat. “Makanya saya cari di sini…”
“Sebenarnya, di sebelah mana map Bapak jatuh?” tanya Badrun.
“Jatuhnya tidak di sini Dik, tetapi di bandara Juanda saat saya kembali dari Jakarta protes revisi PP-37,” jawab Bapak Dewan yang membuat Badrun kaget.
“Loh, jatuhnya di bandara Juanda kok nyarinya di sini Pak?” tanya Badrun heran.
“Anda ini gimana to Dik, di bandara kan banyak sekali orang, jadi saya kesulitan mencarinya,” jawab Bapak Dewan. “Kalau di sini kan sepi, jadi saya mudah mencarinya, tidak berdesak-desakan….”
Tanpa bicara apa-apa, Badrun pergi meninggalkan tempat itu. Dalam hati ia mengumpat. “Dasar pikun, hilangnya di bandara, nyarinya di sini…!” (***)


ARTI DEMOKRASI


Sebuah keluarga pejabat Republik Dongeng hidup berkecukupan di sebuah rumah mewah. Bapak pejabat punya istri cantik dan dua orang anak yang masih kecil-kecil. Yang sulung bernama Gombres dan adiknya Gembil.
Suatu hari, Gombres yang sudah kelas 2 SLTP bertanya kepada bapaknya, apa arti demokrasi. Bapak pun berpikir, bagaimana bisa menjelaskan arti demokrasi kepada anaknya dengan segamblang-gamblangnya. Ia tidak ingin anaknya salah dalam menafsirkan arti demokrasi.
“Begini Nak,” kata si Bapak. “Contoh demokrasi adalah seperti dalam keluarga kita. Bapak sebagai investor mencari untung untuk nafkah kita semua. Ibu sebagai pemerintah mengelola hasil yang didapat Bapak untuk kepentingan kita semua. Kamu sebagai rakyat dan adikmu sebagai generasi masa depan yang perlu diperhatikan masa depannya, sementara Inem, pembantu kita, adalah buruh alias karyawan yang harus dihormati setara dengan kita-kita.”
Gombres manggut-manggut tanda mengerti. Ketika pada suatu hari dia pulang sekolah, Gombres melihat Gembil –adiknya- berak di lantai sementara sang Ibu tidur dengan lelap di kursi tamu. Gombres lalu mencari Inem untuk minta batuan mengurus adiknya. Ia pergi ke kamar Inem, dan ternyata Bapaknya sedang ‘main’ di kamar Inem.
Sorenya, Gombres mendatangi ayahnya dan berkata dengan riang: “Sekarang saya tahu arti demokrasi Pak,” kata Gombres. “ Investor berulang-ulang ‘menindih’ buruh, sementara pemerintah tertidur pulas dan tak mau tahu apa yang terjadi, rakyat tak berani membangunkan pemerintah untuk minta bantuan, sedangkan generasi muda memandang masa depan yang penuh kotoran dan mata sembab bekas menangis…” **